18 Jan, 2016 | News
What is the status of LCA research and application in Indonesia? The Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) focused on the issue with of its first national workshop and annual meeting, held on 24-25 November 2015 in Puspiptek, Serpong. Better identifying LCA research and application The workshop provided a forum for LCA researchers and practitioners to share their works and to meet others who work in the same area. Keynote speakers were Mr. Noer Adi Wardojo from MOEF (Indonesia), Dr. Cécile Bessou from CIRAD (France), Prof. Shabbir Gheewala from KMUTT (Thailand), and Assoc. Prof. Yasuhiro Fukushima from Tohoku University (Japan). There were also 15 other invited speakers presenting various topics on LCA. It was a successful meeting with more than 100 active participants from academia, government, and private sectors. In addition to ILCAN, the event was co-organized and financed by the Ministry of Environment and Forestry, Indonesian Institute of Sciences, Pelita Harapan University, and PT Sucofindo. 100 active participants from academia, government, and private sectors joined in. It was a success for the young network, which was established in December 2014 by researchers and lecturers from research institutions and universities in Indonesia. A network to promote LCA research in Indonesia The Indonesian Life Cycle Assessment Network is a voluntary, non-profit organization with the objective to promote LCA research and its application to support sustainable development in Indonesia. It was established in December 2014 by researchers and lecturers from research institutions and universities in Indonesia. The main programs are to share information on LCA methodology and to build capacity on LCA competency to interested parties in academia, government, and industry....
29 Nov, 2015 | News
Bisnis.com, TANGERANG—Kepedulian industri atas dampak lingkungan dari daur hidup produk minim, padahal aspek ini bisa meningkatkan bisnis melalui perluasan pasar ekspor. Ketua Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) Edi Iswanto Wiloso mengatakan saat ini negara-negara tujuan ekspor terutama Eropa banyak yang lebih memerhatikan aspek ramah lingkungan produk. Mereka menetapkan kriteria bahwa produk yang diimpor harus memiliki ecolabel tertentu. Hal ini dipakai sebagai jaminan bahwa barang bersangkutan memiliki daur hidup yang terbilang ramah lingkungan. Atau, setidaknya dapat diketahui berapa emisi karbon yang dihasilkan. “Kalau kita tidak melakukan itu, maka produk kita menjadi tidak kompetitif sehingga ditolak oleh mereka ,” ucapnya di sela Workshop Life Cycle Assesment (LCA), di Tangerang, Selasa (24/11/2015). Untuk meninjau potensi dampak lingkungan barang dapat menggunakan LCA tersebut. Dampak lingkungan tidak hanya diperhitungkan dari produk itu sendiri melainkan seluruh proses mulai dari pengambilan bahan baku, produksi, distribusi, pemakaian, sampai pembuangannya. “Produk-produk yang harus segera merintis analisis daur hidup adalah dari sektor agribisnis,” ujar Edi. Di tingkat global, tata cara untuk melihat potensi dampak lingkunganproduk diatur dalam satndar ISO 14021, 14024, dan 14025 tentang Environmental Labels and Declarations. Hal ini tidak hanya berlaku untuk produk melainkan juga jasa. Sumber:...
27 Nov, 2015 | News
Bisnis.com, TANGERANG—Kajian soal analisis dampak lingkungan yang mencakup seluruh daur hidup produk di Indonesia perlu diperdalam. Bentuk analisis yang bisa digunakan ialah melalui life cycle assesment (LCA). Ini merupakan metode untuk menghitung potensi dampak lingkungan suatu produk. Minimnya studi soal LCA sejalan dengan rendahnya kesadaran penerapan ecolabeling dalam berbagai produk. Ketua Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) Edi Iswanto Wiloso berpendapat dalam hal kajian soal LCA yang minim sebetulnya disebabkan ketidaan jaringan yang jelas di antara para periset. “Kalau potensi SDM kita punya,” katanya di sela Workshop tentang Riset LCA di Indonesia, di Tangerang, Selasa (24/11/2015). Sementara itu, menyoal rendahnya kesadaran pencantuman ecolabeling, seperti kotak informasi tingkat emisi produk, lantaran kurang dorongan dari pemerintah. Edi berpendapat semestinya pemerintah sebagai regulator bersikap lebih tegas sedangkan pelaku bisnis akan mengikuti. “Ini tergantung political will dari pemerintah. Sejalan dengan MEA, semestinya dibarengi dengan penggalakkan ini ,” ujarnya. Yang perlu diperhatikan pelaku usaha dalam menerapkan ecolabeling untuk produknya harus mengacu kepada daur hidup produk bersangkutan. Artinya, analisis yang dilakukan bermula dari pemilihan bahan baku, proses produksi, distribusi, konsumsi, sampai pembuangannya. Sumber:...
27 Nov, 2015 | News
Bisnis.com, TANGERANG—Berbagai produk di Tanah Air kini baru mencapai tahapan ekolabel tipe II, dengan kata lain Indonesia masih jauh dari penerapan life cycle assessment (LCA) secara penuh. LCA merupakan metode pengukuran potensi dampak lingkungan suatu produk dengan memperhitungkan rangkaian proses produk. LCA tidak hanya mencakup produk tetapi juga siklus hidup produk seperti pengambilan bahan baku, produksi, distribusi, konsumsi, sampai pembuangan. Tri Hendro Utomo, Tim Pusat Standarisasi Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan Indonesia baru mencapai sertifikasi ekolabel tipe satu dan dua, sedangkan tipe tiga belum ada. “Produk yang punya dampak signifikan terhadap lingkungan kami haruskan memenuhi kriteria ekolabel,” ucapnya, Rabu (25/11/2015). Sekarang ini terdapat 43 produk yang beredar di pasar domestik dengan ekolabel tiga pertama. Terbanyak produk-produk cat. Adapun yang mengadopsi ekolabel tipe kedua ada 14 produk. Barang yang paling banyak adalah detergen. Tri menjelaskan Ekolabel Tipe I adalah produk yang mendapatkan label lingkungan atau Ekolabel dari Lembaga Sertifikasi Ekolabel dalam maupun luar negeri. Untuk mendapatkan Ekolabel Tipe I suatu produk terlebih dahulu harus memenuhi kriteria Ekolabel Produk yang telah ditetapkan. Produk yang mendapat label tipe tersebut merupakan barang yang beredar di Indonesia dari dalam negeri maupun luar negeri. Identifikasi terhadap produk ini di pasaran adalah dengan melihat logo ekolabel pada produk, kemasan atau media lainnya. Sementara itu, Ekolabel Tipe II isinya produk yang memiliki deklarasi aspek lingkungan. Klaim aspek lingkungan ini bisa dilakukan sendiri oleh produsen, distributor, pemegang merek atau pihak lainnya yang mendapat manfaat dari klaim tersebut. Deklarasi itu tidak perlu diverifikasi pihak ketiga tetapi yang pasti klaim tersebut mengikuti ketentuan yang berlaku. Identifikasi terhadap produk ini di pasaran adalah dengan melihat klaim...
27 Nov, 2015 | News
Bisnis.com, TANGERANG — Ketua Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) Edi Iswanto Wiloso mengatakan saat ini negara-negara tujuan ekspor terutama Eropa banyak yang lebih memerhatikan aspek ramah lingkungan produk. Mereka menetapkan kriteria bahwa produk yang diimpor harus memiliki ekolabel tertentu. Hal ini dipakai sebagai jaminan bahwa barang bersangkutan memiliki daur hidup yang terbilang ramah lingkungan. Atau, setidaknya dapat diketahui berapa emisi karbon yang dihasilkan. “Kalau kita tidak melakukan itu, maka produk kita menjadi tidak kompetitif sehingga ditolak oleh mereka ,” ucap Edi, Selasa (24/11/2015). Untuk mengkaji dampak lingkungan suatu produk bisa menggunakan life cycle assessment (LCA). Dampak ini tidak hanya diperhitungkan dari produk itu sendiri melainkan seluruh proses mulai dari pengambilan bahan baku, produksi, distribusi, pemakaian, sampai pembuangannya. “Produk-produk yang harus segera merintis analisis daur hidup adalah dari sektor agribisnis,” ujar Edi. Di tingkat global, tata cara untuk melihat potensi dampak lingkungan produk diatur dalam standar ISO 14021, 14024, dan 14025 tentang Environmental Labels and Declarations. Hal ini tidak hanya berlaku untuk produk melainkan juga jasa. Sumber:...
Page 9 of 11« First«...7891011»
Translate »